Selasa, 16 Februari 2010

Balasan Keadilan dalam Ber-Infaq

Meski memilih hidup miskin, Rasulullah tak pernah membenci kekayaan dunia. Beliau berwasiat, ‘’Jangan kalian mencaci-maki dunia. Dia adalah sebaik-baik kendaraan. Dengannya orang dapat meraih kebaikan dan dapat selamat dari kejahatan’’ (HR Ad-Dailami).

Misalnya Abdurrahman bin Auf. Dari total asetnya yang sekitar Rp 600 Milyar, sebagian besar diinfakkan fi sabilillah. Tiap hari, rumah Abdul Rahman tak pernah sepi pengunjung. Sepertiga penduduk Madinah datang ke pondoknya untuk membayar utang, sepertiga lainnya berkunjung untuk berutang, dan sepertiga berikutnya bersilaturahim sambil mengambil sedekah.

Bayangan enaknya jadi orang kaya seperti itu, empat belas abad yang lalu pernah dikemukakan beberapa sahabat di hadapan Khalifah Umar bin Khattab. Waktu itu Umar naik mimbar dan bertanya kepada jamaah, ‘’Kemukakan keinginan kalian.’’ Aku mengandaikan mendapat rumah yang dipenuhi dirham, lalu aku infakkan fi sabilillah, jawab seseorang. ‘’Utarakan keinginan kalian,’’ kata Umar lagi. ‘’Aku mengandaikan mendapat rumah yang dipenuhi emas, lalu aku infakkan fi sabilillah,’’ jawab seorang lainnya. ‘’Sampaikan keinginan kalian,’’ kata Umar lagi. ‘’Aku mengandaikan mendapat rumah yang dipenuhi permata, lalu aku infakkan fi sabilillah,’’ jawab seorang lagi. ‘’Apalagi selain itu?’’ kata orang-orang ketika Umar mengulangi pertanyaannya (Imam Bukhari dari Zaid bin Aslam, dalam Tarikh As Saghir: 29).

Cita-cita untuk kaya sehingga dengannya dapat berbuat kebajikan lebih banyak, bukan angan-angan sia-sia. Bahkan meski masih sebatas keinginan, ia sudah bernilai pahala. Sebagaimana dikatakan Nabi Muhammad saw: ‘’…. menanti-nanti (mengharap-harap) kelapangan (sehingga dengannya dapat berbuat kebajikan) adalah suatu ibadah’’ (HR Bukhari).

Syahdan, di suatu negeri ada seorang kaya raya, yang rajin beribadah dan beramal serta tidak sombong atau riya’. Ia banyak membangun rumah ibadah, menyantuni anak yatim, membantu saudara, kerabat dan tetangga-tetangganya yang miskin dan kekurangan, serta berbagai amal sosial lainnya. Di musim paceklik, ia membagikan bahan pangan dari kebunnya yang berhektar-hektar kepada banyak orang yang kesusahan. Salah satu yang sering dia bantu adalah seorang tetangganya yang miskin.

Dikisahkan, sesudah meninggal, si orang kaya ini masuk surga. Namun di luar dugaannya, mantan tetangganya yang amat miskin itu juga berada di level surga yang sama dengannya. Si kaya pun menegurnya:

“Allah Maha Pengasih kepada semua umat-Nya tanpa memandang kaya-miskin. Kalau boleh aku ingin tahu, amalan apa yang telah kau lakukan sehingga kita dapat bertemu di sini?”

“Aku mendapat pahala atas amalan membangun rumah ibadat, menyantuni anak yatim, membantu saudara, kerabat dan tetangga yang miskin dan kekurangan, serta berbagai amal sosial lainnya,” tutur mantan tetangga dengan mantap.

“Bagaimana mungkin?” Si kaya keherananan, ‘’bukankah waktu di dunia dulu kamu sangat miskin. Bahkan seingatku, untuk nafkah hidup sehari-hari saja kamu harus berutang kanan-kiri?”

“Itu memang benar,” jawab si miskin. “Cuma waktu di dunia dulu, aku sering berdoa: ‘Oh, Tuhan! Seandainya aku diberi kekayaan materi seperti

tetanggaku yang kaya itu, aku berniat membangun rumah ibadat, menyantuni anak yatim, membantu saudara, kerabat dan tetangga yang miskin dan banyak amal lainnya. Tapi apapun yang Kau berikan untukku, aku akan ikhlas dan sabar menerimanya.”

Jadi, jangan takut untuk bercita-cita kaya, dan baik.

Tapi memang, belum tentu kekayaan itu yang terbaik buat yang seseorang. Ingatlah akan kegelisahan Nabi: ‘’Aku tidak khawatir kalian ditimpa musibah dan melarat sepeninggalku. Yang aku takutkan, bila Allah membuka perbendaharaan kekayaan-Nya bagi kalian dan kalian menjadi lupa diri karenanya.’’

Sejumlah sahabat Nabi, pernah merasa ‘’kalah bersaing’’ dengan orang kaya dalam beramal. Abu Dzar ra mengisahkan, ada sekelompok sahabat dhuafa mengadu ke Rasulullah. “Wahai Rasulullah,’’ kata mereka, ‘’orang-orang kaya telah memborong pahala. Mereka sholat sebagaimana kami sholat, mereka berpuasa sebagaimana kami puasa, tapi mereka dapat bersedekah dengan kelebihan hartanya.”

Rupanya kelompok orang itu salah sangka pada Allah Swt. Benar, Allah Swt membeda-bedakan kekayaan hamba-hamba-Nya. “Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia angkat sebagian kamu atas sebagian lain derajatnya untuk menguji kamu pada rezeki yang diberikan kepada kamu…. ” (QS Al Anaam:165).

Tapi, bukan berarti harta kekayaan menjadi satu-satunya alat beramal saleh. Kepada para sahabat tadi, Nabi menjelaskan, “Bukankah Allah telah menjadikan bagi kalian apa-apa yang dapat kalian sedekahkan? Sungguh pada setiap tasbih ada sedekah, pada setiap tahmid ada sedekah, dan pada setiap tahlil ada sedekah; Menyuruh kebaikan adalah sedekah, melarang kemungkaran adalah sedekah, dan mendatangi istrimu juga sedekah.”

Kelompok sahabat tadi kaget dan berkata, “Ya Rasulallah, apakah kegiatan memenuhi kebutuhan syahwat pun berpahala?” Rasul menjelaskan, “Apa pendapatmu, bila ia menempatkan pada tempat yang haram, bukankah ia berdosa? Demikian pula bila ia menempatkan pada tempat yang halal, ia akan mendapatkan pahala” (HR Muslim).

Seorang mukmin diberi pahala dalam segala hal walaupun dalam sesuap makanan yang disodorkan ke mulut isterinya (HR Ahmad dan Abu Dawud). Dan, ‘’siapa yang ridho dengan rezeki yang sedikit dari Allah maka Allah akan ridho dengan amal yang sedikit dari dia, dan menanti-nanti (mengharap-harap) kelapangan adalah suatu ibadah.’’ (HR Bukhari).

Abu Hurairah ra mengisahkan, seorang lelaki datang kepada Rasulullah saw lalu berkata, ‘’Wahai Rasulallah, sedekah manakah yang paling agung?’’ Jawab Nabi, ‘’Engkau bersedekah ketika engkau sehat lagi kikir dan sangat memerlukannya, engkau takut miskin dan sangat ingin menjadi kaya.’’ (HR Muslim).

Ketika Nabi menyerukan penghimpunan dana untuk mengirim ekspedisi jihad, para sahabat berbondong-bondong datang menyerahkan sebagian hartanya. Di antaranya Abdurrahman bin Auf, yang berkata, ‘’Aku mempunyai uang 4000 dirham. Yang 2000 untuk nafkah keluargaku, 2000 lagi untuk kuinfakkan.’’

‘’Semoga Allah menerima yang engkau infakkan, dan memberkahi yang engkau sisakan untuk keluargamu,’’ sambut Nabi.

Lalu datang seorang Anshar membawa dua gantang kurma. ‘’Wahai Rasulullah,’’ katanya sembari menghapus keringat di wajahnya. ‘’Aku baru saja mendapat upah dua gantang kurma. Ini yang segantang aku infakkan, sisanya kuberikan untuk keluargaku.’’

Menyaksikan kesederhanaan pemberian orang Anshar itu, orang-orang munafik menertawakannya. Nabi murka pada kelakuan munafikin. Bersamaan dengan itu turunlah ayat 79 Surat At Taubah yang mencela perbuatan kaum itu dan memuji pengorbanan sahabat Nabi betapapun sederhananya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar